MEMBANGUNKAN BUMDES
YANG MATI SURI:
MENDORONG DESA MANDIRI
DI JAWA TIMUR
Sejak adanya Undang-Undang nomor 6 tahun 2014, desa-desa di Indonesia semakin bersemangat untuk mendirikan
Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) yang diharapkan menjadi pilar perekonomian desa yang berfungsi sebagai
lembaga sosial dan sekaligus sebagai lembaga komersial yang bertujuan untuk memperluas akses pasar, menciptakan
iklim usaha yang kondusif, dan pada gilirannya mampu meningkatkan kemandirian desa. Dari segi jumlah
perkembangan BUMDesa cukup pesat sudah lebih dari 50% dari jumlah seluruh desa di Indonesia, namun dari aspek
kinerja dan keberlanjutannya masih rendah yakni baru mencapai 22% dari jumlah BUMDesa. Kondisi ini berdampak
pada lambannya upaya pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di perdesaan. Banyak
kajian telah dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi penyebab mati surinya BUMDesa tersebut.
Pemerintah bahkan telah menggelontorkan sejumlah anggaran yang tidak sedikit dan selalu bertambah setiap
tahunnya namun hasil yang diperoleh tidak signifikan dalam mengentaskan kemiskinan. Untuk itu diperlukan solusi
yang lebih konkrit dari Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Desa sebagai unit pemerintahan
yang lebih dekat dan langsung bersentuhan dengan BUMDesa.
POLICY BRIEF
EXECUTIVE SUMMARY
1
Pembangunan Desa menjadi salah satu indikator keberhasilan pembangunan Indonesia secara keseluruhan. Kegagalan
pembangunan desa berakibat beratnya beban perkotaan karena setiap tahun mengalami pertumbuhan penduduk cukup tinggi.
Oleh karenanya pemerintah terus mendorong perekonomi desa dengan pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa).
Perkembangan BUM Desa sejak 2015 sangat cepat, dari 1.022 unit menjadi 47.500 unit BUM Desa yang tersebar di 74.910 desa di
tahun 2019 atau sebesar 63%. Namun demikian masih banyak BUM Desa belum berjalan dengan efektif lantaran para pengelolanya
belum fokus untuk menjalankannya. Bahkan dengan adanya pandemic Covid 19 hingga Mei 2020 jumlah BUM Desa yang aktif
hanya sebanyak 10.629 (22%).
Kondisi di Jawa Timur dari 8.501 Desa (BPS 2020) ada 1.777 Desa yang belum memiliki BUMDesa dan dari BUM Desa yang ada
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Klasifikasi BUMDesa di Jawa Timur
Sumber: Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, 2021 (https://datadesacenter.dpmd.jatimprov.go.id/)
Tujuan BUMDesa sebagaimana diamanatkan dalam Permendesa PDT dan Transmigrasi No. 4 tahun 2015 adalah untuk
meningkatkan perekonomian desa, meningkatkan usaha masyarakat dalam pengelolaan potensi ekonomi desa. Dengan banyaknya
BUMDesa yang belum dikelola dengan baik, maka tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa di Indonesia dan
khususnya di Jawa Timur menjadi terhambat.
Keberadaan BUMDesa yang tidak aktif alias mati suri sesungguhnya telah menghambat kesempatan masyarakat desa setempat
dalam mencapai kemandirian ekonominya. Pemerintah Desa juga dirugikan karena telah mengalokasikan anggaran untuk
pembentukan BUMDesa yang ternyata tidak mendapatkan keuntungan sebagaimana yang diharapkan. Dengan adanya BUM Desa
diharapkan dapat menyalurkan inisiatif masyarakat, mampu menyerap kapasitas produksi masyarakat, mengembangkan potensi
desa, seperti potensi sumber daya alam, dan mengoptimalkan sumber daya manusianya. Kegagalan BUMDesa berarti juga
kegagalan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat desa yang ditandai dengan masih tingginya angka kemiskinan di
perdesaan.
Kondisi kemiskinan di pedesaan masih sangat tinggi dibandingkan dengan kemiskinan di perkotaan. Data Badan Pusat Statistik
(BPS) per September 2020 menggambarkan, disparitas kemiskinan perkotaan dan pedesaan masih tinggi. Sementara tingkat
kemiskinan di kota sebesar 7,88 persen, level di pedesaan sudah mencapai double digit yakni 13,20 persen. Indeks kedalaman
kemiskinan di pedesaan juga masih lebih tinggi, 2,39 persen dibandingkan di perkotaan yang berada pada level 1,26 persen. Tingkat
indeks di pedesaan bahkan lebih tinggi dibandingkan nasional yang sebesar 1,75 (https://www.republika.co.id/berita/
qok6cr370/bps-kesenjangan-kemiskinan-kota-dan-desa-masih-tinggi).
Demikian pula kondisi di Jawa Timur, prosentase penduduk miskin di perdesaan mengalami kenaikan pada tahun 2020
dibandingkan tahun 2019 dan jauh lebih tinggi dibandingkan kemiskinan di perkotaan.
Perbandingan Kemiskinan Desa dan Kota
Sumber: Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, 2021 (https://datadesacenter.dpmd.jatimprov.go.id/)
2
APA YANG MENYEBABKAN TERJADINYA MASALAH/ISU TERSEBUT?
Pertama, Kurang persiapan dan tidak direncanakan secara professional. Banyak BUMDesa yang didirikan hanya karena
“keharusan” tanpa didasari dengan kebutuhan dan perencanaan usaha yang matang. Pembentukan BUMDes hanya untuk
memenuhi target formalitas Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Desa semata, seperti pernyataan berikut ini:
Mengapa banyak BUMDesa yang mati suri ?
Di Kutai Timur, bukan hanya masalah dana yang mencekik leher manajemen
BUMDesa hingga tak bisa bernafas tetapi juga krisis SDM berkualitas. BUMDes
yang seharusnya dikelola orang-orang desa yang memiliki kapabilitas bisnis.
Tetapi sangat tidak mudah mencari SDM unggul dari desanya. Akhirnya
BUMDesa berdiri hanya asal berdiri dan prosesnya didirikan oleh perangkat desa
dan beberapa gelintir tokoh masyarakat yang secara kualitas tidak memiliki
kapabilitas usaha .
(http://lamonganberdesa.blogspot.com/2017/04/bumdes-tidak-berjalanpenyebab-
dan.html)
Berkenaan dengan perencanaan dan pendiriannya, BUMDesa seharusnya dibangun atas prakarsa (inisiasi) masyarakat, serta
mendasarkan pada prinsip-prinsip kooperatif, partisipatif, ('user-owned, user-benefited, and user-controlled'), transparansi,
emansipatif, akuntabel, dan sustainabel dengan mekanisme member-base dan self-help.
Kedua, Keterbatasan kapasitas sumber daya manusia di desa (kurangnya pemahaman bersama terkait BUMDesa dan kemampuan
manajerial). Pemahaman bersama mengenai BUMDes belum benar-benar sampai kepada masyarakat. Hal ini diawali dari
pemahaman perangkat desa terutama kepala desa mengenai BUMDesa yang juga masih sangat kurang. Kurangnya pemahaman
mengakibatkan rendahnya komitmen untuk mengelola BUMDes secara akuntabel sebagaimana disebutkan Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) bahwa banyak BUMDesa yang tidak beroperasi, tidak menyampaikan laporan, pendiriannya tidak didukung
dengan studi kelaikan, dan belum tertib dalam tata usaha serta laporan, bahkan tidak jarang yang melakukan penyalahgunaan
anggaran. BUMDesa perlu dikelola secara professional namun kapasitas SDM di desa kebanyakan memang masih terbatas,
sebagaimana salah satu pernyataan berikut ini:
Kurangnya pemahaman perangkat desa ini disebabkan belum maksimalnya pelaku sosialisasi dari pemerintah Provinsi dan
Kabupaten. Sebagaimana hasil kajian Fitrianto (2016) pada empat Kabupaten yang ada di Jawa Timur, Kabupaten Bojonegoro,
Kabupaten Malang, kabupaten Lumajang, dan Kabupaten Gresik menunjukkan bahwa pada umumnya peraangkat desa belum
mengerti bagaimana sesungguhnya konsep BUMDesa.
Ketiga, Kurangnya keterbukaan informasi. Karena pemahaman mengenai BUMDesa di kalangan perangkat desa masih sangat
lemah, maka wacana BUMDesa tidak tersosialisasi dengan baik kepada warga desa. Sehingga tidak tumbuh pemahaman bersama
tentang Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan urgensi dari pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) bagi desa dan
masyarakat (https://www.jurnalbengkulu.com/bumdes-tidak-berkembang-ini-penyebab-utamanya). Sosialisasi mengenai
BUMDesa pada masyarakat adalah salah satu faktor yang menentukan hidup dan matinya BUMDesa karena pada proses pendirian
BUMDesa sangat diperlukan partisipasi masyarakat. Tanpa pemahaman yang menyeluruh mengenai konsepsi BUMDesa sebagai
lembaga usaha maka BUMDesa bakal kekurangan daya dukung sosial. Akibatnya BUMDesa kesulitan meyakinkan warga desa
sebagai lembaga yang bisa menjadi kekuatan ekonomi. Sebaliknya, BUMDesa dianggap tidak cukup menarik bagi warga, terutama
anak muda.
Bukan hanya pada tahap awal pendirian BUMDesa, kurangnya keterbukaan informasi bahkan berlanjut hingga pengelolaan usaha
dan keuangan. Penelitian Anggraeni (2016) menunjukkan bahwa permasalahan utama adalah masalah komunikasi antara BUMDes,
pemerintah desa, dan masyarakat desa, serta masalah transparansi dan akuntabilitas. Masalah yang menghambat peran BUMDes
yaitu benturan kepentingan antar aktor utama, pemdes yang kurang terbuka dan kurang melibatkan masyarakat dalam penentuan
kebijakan (Budiono (2015).
Dari semua faktor yang menjadi kendala perkembangan BUMDesa pada prinsipnya disebabkan masih rendahnya kapasitas dan tata
kelola (Corporate Governance/CG) BUMDes, mulai dari perencanaan usaha, penataan kelembagaan, SDM, kemampuan
berkolaborasi dan memanfaatkan sumberdaya yang ada masih terbatas (Fitriyanto, 2016; Pramita, 2018; Astuti dan Suaedi, 2018,
Kania, I., Anggadwita, G. and , 2021).
3
Fakta BUMDesa banyak yang “mati suri” merupakan permasalahan yang patut menjadi perhatian, khususnya di Jawa Timur dimana
hanya sekitar 10% BUMDesa yang aktif. Untuk itu Pemerintah provinsi Jawa Timur perlu melakukan langkah-langkah konkrit guna
mendorong kinerja BUMDesa sebagai penggerak ekonomi desa, mengurangi pengangguran dan menekan tingkat kemiskinan di
perdesaan.
Pertama, Village mapping. Pemetaan desa sangat diperlukan untuk mengetahui potensi atau kekuatan dan juga permasalahan dari
seluruh desa di Jawa Timur sehingga menghasilkan peta potensi desa secara detail dan komprehensif termasuk profil BUMDesa
nya. Pemetaan potensi desa ini akan sangat membantu desa dalam mengembangkan BUMDesanya mengingat masih banyaknya
desa yang belum berhasil mengidentifikasi potensi yang dapat dikembangkan sebagai usaha desa. Pemerintah Provinsi dapat
bekerjasama dengan berbagai Perguruan Tinggi di Jawa Timur.
Kedua, perlunya menerapkan konsep collborative governance dalam hal ini antara pemerintah Provinsi, pemerintah Kabupaten dan
pemerintah Desa serta melibatkan Perguruan Tinggi di Jawa Timur sebagai pendamping dan pembina BUMDesa. Pemerintah
provinsi dapat megembangkan kebijakan “satu Perguruan Tinggi membina 1 BUMDES” (One College One Village). Kebijakan ini
sekaligus mendorong implementasi kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang dicanangkan kemendikbud dan
sekaligus menindaklanjuti konsep Universitas membangun Desa yang dikembangkan oleh KOMPAK beberapa tahun yang lalu.
Peran Perguruan Tinggi sangat strategis mengingat sesuai dengan kapasitas dan kompetensi yang dimiliki sebagai agent perubahan
khususnya untuk melakukan program peningkatan kapasitas kelembagaan meliputi: individu, organisasi dan system. Program
peningkatan kapasitas (capacity building) yang selama ini telah dijalankan perlu dikaji ulang dan ditindaklanjuti sesuai dengan
kondisi dan kebutuhan di masing-masing desa. Perguruan tinggi pembina diprioritaskan adalah perguaruan tinggi terdekat dengan
desa yang dibina sehingga terdapat distribusi tanggungjawab bagi setiap perguruan tinggi tersebut sebagai wujud salah satu Tri
Dharma PT yaitu Dharma pengabdian kepada masyarakat.
Ketiga, berdasarkan hasil kajian yang menyatakan bahwa pembentukan BUMDesa pada umumnya kurang didasarkan pada
kebutuhan dari masyarakat desa itu sendiri maka perlu kemudian untuk dikaji kembali Peraturan Desa terkait pembentukan
BUMDesa tersebut. Pemerintah desa perlu meninjau kembali apakah struktur organisasi BUMDesa berikut personel yang ditunjuk
telah memenuhi kriteria kebutuhan pengelolaan BUMDesa yang professional dan termasuk kejelasan wewenang, tanggung jawab
dan tugasnya. BUMDes saat ini telah menjadi primadona ekonomi perdesaan. BUMDes, sebagai perusahaan yang menaungi
berbagai aktifitas ekonomi di desa, tidak hanya akan memberikan efek pada perkembangan ekonomi desa, namun juga berpengaruh
pada perkembangan ekonomi nasional, oleh karenanya harus dikelola secara professional.
Peninjauan Peraturan Desa juga perlu dilakukan terkait dengan jenis usaha yang dikelola, mengingat pada saat awal mendirikan
BUMDesa belum dilakukan studi kelayakan usaha secara seksama dan belum melalui proses partisipatif sehingga seringkali jenis
usaha yang dikembangkan justru tidak sesuai dengan potensi desa dan masyarakatnya. Prinsip partisipasi ini wajib dilakukan pada
tahap pendirian BUMDesa yang meliputi identifikasi potensi, sosialisasi pembentukan BUMDes, perumusan Anggaran Dasar (AD),
perumusan Anggaran Rumah Tangga (ART), musyawarah pembentukan BUMDesa dan unit usaha, serta penyusunan rencana kerja
pengelola BUMDesa. Tanpa proses partisipatif dan kooperatif, BUMDesa tersebut tidak akan mendapatkan dukungan sosial
masyarakat. Dukungan masyarakat sangat penting bagi keberlanjutan BUMDesa karena kegiatan usaha yang dijalankan harus
dapat dikembangkan dan dilestarikan oleh masyarakat. Semua yang menjadi pihak yang terlibat di dalam pengelolaan BUMDes
memiliki kewajiban dan kesadaran untuk berpartisipasi penuh dalam memberikan dukungan dan kontribusi dalam upaya
mendorong kemajuan usaha BUMDes.
Daftar Pustaka
Anggraeni, M. (2016). Kesejahteraan masyarakat pedesaan. Modus, 28(2), 155–167.
Astuti, Sri Juni Woro and Suaedi, Falih (2018) Building Independent Villages through Collaborative Governance by Village-Owned
Enterprises (Best Practice from Panggungharjo Village, Central Java, Indonesia). Jurnal Ilmu Sosial, Politik dan Pemerintahan
(JISPAR), 7 (2): 8. pp. 19-33.
Budiono, P. (2015). Implementasi kebijakan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) di Bojonegoro (Studi di Desa Ngringinrejo Kecamatan
Kalitidu dan Desa Kedungprimpen Kecamatan Kanor). Jurnal Politik Muda, 4(1), 116–125.
Fitrianto, hari. 2016. Revitalisasi Kelembagaan Bumdes Dalam Upaya Meningkatkan Kemandirian dan Ketahanan Desa di Jawa
Timur. Jejaring Administrasi Publik, Vol. 8, No. 2. Juli-Desember 2016
Kania, I., Anggadwita, G. and Alamanda, D.T. (2021), "A new approach to stimulate rural entrepreneurship through village-owned
enterprises in Indonesia", Journal of Enterprising Communities: People and Places in the Global Economy, Vol. 15 No. 3, pp.
432-450. https://doi.org/10.1108/JEC-07-2020-0137
Pramita, Y. D. (2018). The analysis of understanding Permendesa No. 4 year 2015 and use of information systems on Bumdes
management accountability. Jurnal Analisis Bisnis Ekonomi, 16(4), 1–8.
FISIP UNIVERSITAS WIJAYA PUTRA
AGENDA KEBIJAKAN APA YANG HARUS DILAKUKAN
3
Penulis
Drs. Dwi Wahyu Prasetyono, M.Si